Sunday, 15 February 2015

Makalah Jabariah Qodariah

jabariah dan qodariah

BAB IPENDAHULUAN

    LATAR BELAKANG
Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.[1]
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.[2]
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.

    TOPIK PEMBAHASAN
a.       Aliran Jabariyah
b.      Ajaran-ajaran Jabariyah
c.       Aliran Qadariyah
d.      Aliran Jabariyah
e.       Ajaran-ajaran Qadariyah
f.        Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah : Sebuah Perbandingan tentang Musibah

 BAB IIPEMBAHASAN
a.      ALIRAN JABARIYAH (FATALISM/PREDESTINATION)
Latar Belakang Lahirnya Jabariyah
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur). [3]
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.[4]
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan.[5] Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan,[6] yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.[7]
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyarakat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.[8]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam Alquran sendiri banyak terdapat ayat-ayat yeng menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah, diantaranya:
a. QS ash-Shaffat: 96
 “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".
b.      QS al-Anfal: 17
“ Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
c. QS al-Insan: 30
Artinya : “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Selain ayat-ayat Alquran di atas benih-benih faham al-Jabar juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:

a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b.      Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika diintrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.       Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d.      Adanya paham Jabar telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.[9]
Di samping adanya bibit pengaruh faham jabar yang telah muncul dari pemahaman terhadap ajaran Islam itu sendiri. Ada sebuah pandangan mengatakan bahwa aliran Jabar muncul karena adanya pengaruh dari dari pemikriran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[10]
Dengan demikian, latar belakang lahirnya aliran Jabariyah dapat dibedakan kedalam dua factor, yaitu factor yang berasal dari pemahaman ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah, yang mempunyai paham yang mengarah kepada Jabariyah. Lebih dari itu adalah adanya pengaruh dari luar Islam yang ikut andil dalam melahirkan aliran ini.
Adapun yang menjadi dasar munculnya paham ini adalah sebagai reaksi dari tiga perkara: pertama, adanya paham Qadariyah, keduanya, telalu tekstualnya pamahaman agama tanpa adanya keberanian menakwilkan dan ketiga adalah adanya aliran salaf yang ditokohi Muqatil bin Sulaiman yang berlebihan dalam menetapkan sifat-sifat Tuhan sehingga membawa kepada Tasybih. [11]

c.      Ajaran-ajaran Jabariyah
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
Pertama, aliran ekstrim. Di antara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendapatnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak.[12] Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.[13]
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Alquran adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.[14]
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Kedua, ajaran Jabariyah yang moderat adalah Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.[15]

C. ALIRAN QADARIYAH ( FREE WILL AND FREE ACT)

 Latar Belakang Lahirnya Aliran Qadariyah
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[16]
Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Dr. Hadariansyah, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.[17]
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M. [18]
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.[19]
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.[20]

d.  Ajaran-ajaran Qadariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.[21]
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.[22]
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hokum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat Alquran yang berbicara dan mendukung paham itu :
Artinya : “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).

Artinya : “Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”. (QS. Al-Kahfi : 29).
Artinya : “dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.Ali Imran :165)
Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-R’d :11)
e. Refleksi Faham Qadariyah dan Jabariyah : Sebuah Perbandingan tentang Musibah
Dalam paham Jabariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan bagai kapas yang melayang di udara yang tidak memiliki sedikit pun daya untuk menentukan gerakannya yang ditentukan dan digerakkan oleh arus angin. Sedang yang berpaham Qadariyah akan menjawab, bahwa perbuatan manusia ditentukan dan dikerjakan oleh manusia, bukan Allah. Dalam paham Qadariyah, berkaitan dengan perbuatannya, manusia digambarkan sebagai berkuasa penuh untuk menentukan dan mengerjakan perbuatannya.
Pada perkembangan selanjutnya, paham Jabariyah disebut juga sebagai paham tradisional dan konservatif dalam Islam dan paham Qadariyah disebut juga sebagai paham rasional dan liberal dalam Islam. Kedua paham teologi Islam tersebut melandaskan diri di atas dalil-dalil naqli (agama) - sesuai pemahaman masing-masing atas nash-nash agama (Alquran dan hadits-hadits Nabi Muhammad) - dan aqli (argumen pikiran). Di negeri-negeri kaum Muslimin, seperti di Indonesia, yang dominan adalah paham Jabariyah. Orang Muslim yang berpaham Qadariyah merupakan kalangan yang terbatas atau hanya sedikit dari mereka.
Kedua paham itu dapat dicermati pada suatu peristiwa yang menimpa dan berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya, kecelakaan pesawat terbang. Bagi yang berpaham Jabariyah biasanya dengan enteng mengatakan bahwa kecelakaan itu sudah kehendak dan perbuatan Allah. Sedang, yang berpaham Qadariyah condong mencari tahu di mana letak peranan manusia pada kecelakaan itu.
Kedua paham teologi Islam tersebut membawa efek masing-masing. Pada paham Jabariyah semangat melakukan investigasi sangat kecil, karena semua peristiwa dipandang sudah kehendak dan dilakukan oleh Allah. Sedang, pada paham Qadariyah, semangat investigasi amat besar, karena semua peristiwa yang berkaitan dengan peranan (perbuatan) manusia harus dipertanggungjawabkan oleh manusia melalui suatu investigasi.
Dengan demikian, dalam paham Qadariyah, selain manusia dinyatakan sebagai makhluk yang merdeka, juga adalah makhluk yang harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Posisi manusia demikian tidak terdapat di dalam paham Jabariyah. Akibat dari perbedaan sikap dan posisi itu, ilmu pengetahuan lebih pasti berkembang di dalam paham Qadariyah ketimbang Jabariyah.
Dalam hal musibah gempa dan tsunami baru-baru ini, karena menyikapinya sebagai kehendak dan perbuatan Allah, bagi yang berpaham Jabariyah, sudah cukup bila tindakan membantu korban dan memetik "hikmat" sudah dilakukan.
Sedang hikmat yang dimaksud hanya berupa pengakuan dosa-dosa dan hidup selanjutnya tanpa mengulangi dosa-dosa. Sedang bagi yang berpaham Qadariyah, meski gempa dan tsunami tidak secara langsung menunjuk perbuatan manusia, namun mengajukan pertanyaan yang harus dijawab : adakah andil manusia di dalam "mengganggu" ekosistem kehidupan yang menyebabkan alam "marah" dalam bentuk gempa dan tsunami? Untuk itu, paham Qadariyah membenarkan suatu investigasi (pencaritahuan), misalnya, dengan memotret lewat satelit kawasan yang dilanda musibah.


BAB III KESIMPULAN
Menurut penulis solusi terhadap pandangan aliran Jabariyah dan Qodariyah yaitu bahwa manusia benar-benar memiliki kebebasan berkehendak dan karenanya ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keputusannya, meskipun demikian keputusan tersebut pada dasarnya merupakan pemenuhan takdir (ketentuan) yang telah ditentukan. Dengan kata lain, kebebasan berkehendak manusia tidak dapat tercapai tanpa campur tangan Allah SWT, seperti seseorang yang ingin membuat meja, kursi atau jendela tidak akan tercapai tanpa adanya kayu sementara kayu tersebut yang membuat adalah Allah SWT. Dalam masalah Iman dan Kufur ajaran Jabariyah yang begitu lemah tetap bisa diberlakukan secara temporal, terutama dalam langkah awal menyampaikan dakwah Islam sehingga dapat merangkul berbagai golongan Islam yang masih memerlukan pengayoman. Di samping itu pendapat-pendapat Jabariyah sebenarnya didasarkan karena kuatnya iman terhadap qudrot dan irodat Allah SWT, ditambah pula dengan sifat wahdaniat-Nya.
Sementara bagi Qodariyah manusia adalah pelaku kebaikan dan juga keburukan, keimanan dan juga kekufuran, ketaatan dan juga ketidaktaatan. Dari keterangan ajaran-ajaran Jabariyah dan Qodariyah tersebut di atas yang terpenting harus kita pahami bahwa mereka (Jabariyah dan Qodariyah) mengemukakan alasan-alasan dan dalil-dalil serta pendapat yang demikian itu dengan maksud untuk menghindarkan diri dari bahaya yang akan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan beragama dan mencapai kemuliaan dan kesucian Allah SWT dengan sesempurna-sempurnanya. Penghindaran itu pun tidak mutlak dan tidak selama-lamanya, bahkan jika dirasanya akan berbahaya pula, mereka pun tentu akan mencari jalan dan dalil-dalil lain yang lebih tepat. Demikian makalah dari kami yang berjudul “Jabariyah dan Qodariyah” kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi perbaikan di masa mendatang.
Sebagai penutup dalam makalah ini. Kedua aliran, baik Qadariyah ataupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan paham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Alquran. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat dalam Islam.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2
2.      Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)
3.      Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
4.      Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
5.      Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)
6.      Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5
7.      an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977)
8.      Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998)
9.      al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)
10.  asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th)
11.  Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)


[1] Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004), h. 86

[2] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5, h. 1

[3] Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2, h. 63

[4] Harun Nasution, op.cit., h. 31

[5] Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet ke-4, h. 239

[6] Adapun riwayat Jahm tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa dia berasal dari Khurasan yang juga dikenal dengan tokoh murjiah, dan sebagai pemuka golongan Jahmiyah. Karena kelerlibatanya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah, sehingga dia ditangkap.

[7] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64

[8] Harun Nasution, loc.cit.,

[9] Rosihan Anwar, op.cit., h. 64-65

[10] Ibid.,

[11] Ali Syami an-Nasyar, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif, 1977), h. 335

[12] Rosihan Anwar, op.cit., h. 67-68; Lihat juga Hadariansyah, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), h. 79-80

[13] Hadariansyah, loc.cit; Lihat asy-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th);

[14] Rosihan Anwar, op.cit., h. 68

[15] Ibid., Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 41-42; Yusran Asmuni, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 75

[16] Lihat Rosihan Anwar, op.cit., h. 70; Abudin Nata, op.cit., h. 36; Hadariansyah, op.cit., h. 68

[17] Hadariansyah, loc.cit.,

[18] Hadariansyah, loc.cit.,; Harun Nasution, op.cit., h. 32; Rosihan Anwar, op.cit., h. 71

[19] Rosihan Anwar, loc. cit,.

[20] Yusran Asmuni, op.cit., h. 74

[21] Harun Nasution, op.cit., h. 31

[22] Rosihan Anwar, op.cit., h. 73

MAKALAH Psikologi "Emosi"

BAB I PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilai sebagai keadaan positif dan negatif. Selain itu dalam pandangan Dirganusa, Perasaan (feeling) mempunyai dua arti. Di tinjau secara fisiologis, perasaan adalah pengindraan, sehingga merupakan salah satu fungsi tubuh untuk mengadakan kontak dengan dunia luar. Dalam psikologis, perasaan mempunyai fungsi menilai, yaitu penilaian terhadap sesuatu hal. Makna penilaian ini tampak misalnya “ Saya rasa nanti sore hari akan hujan. Macam-macam perasaan Menurut Max Scheler membagi perasaan menjadi empat golongan yaitu Perasaan pengindraan, Perasaan vital, Perasaan psikis, Perasaan pribadi, dan menurut W. Stren mengadakan pembagian perasaan sebagai berikut : Perasaan yang bersangkutan dengan masa kini, Perasaan yang bersangkutan dengan masa lampau, Perasaan yang bersangkutan dengan masa yang akan datang, Sedangkan menurut Drs. Agus Sujanto membagi rumpun perasaan sebagai berikut : Perasaan rendah (biologis), Perasaan luhur (rohani).
Kata “emosi” diturunkan dari kata bahasa Perancis, emotion. Emosi adalah suatu perasaan ingin melebihi dari sifat individu terhadap suatu objek sehingga cendrung berupaya untuk mengekpresikan dan mengaplikasikannya. Macam-Macam Emosi takut, Khawatir, Marah, Sebal, Frustrasi, Cemburu, Iri Hati, Dukacita, Afeksi atau Sayang, Bahagia.
Intelegensi adalah kemampuan seseorang berfikir untuk memahami sesuatu dengan akal pikiran. Menurut arah atau hasilnya intelegensi ada dua macam : Intelegensi praktis, intelegensi teoritis. Jadi  Emosional Intelegensi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan pikiran  dengan perasaan sehingga hubungan antar individu bisa terkendali. Emosional intelegensi menunjuk kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain.
2.      Tujuan
a.       Mengetahui pengertian perasaan
b.      Mengetahui macam-macam perasaan
c.       Mengetahui apa yang dimaksud emosional intelegensi

BAB II PERASAAN DAN EMOSIONAL INTELEGENSI
1.      Pengertian Perasaan
Perasaan adalah suatu pernyataan jiwa, yang sedikit banyak bersifat subjektif, untuk merasakan senang atau tidak senang dan yang tidak bergantung kepada perangsang dan alat-alat indra. Sedangkan menurut Prof. Hukstra, perasaan adalah suatu fungsi jiwa yang dapat mempertimbangkan dan mengukur sesuatu menurut rasa senang dan tidak senang[1].
Sementara menurut Koentjaraningrat perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengaruh pengetahuannya dinilai sebagai keadaan positif dan negatif[2]. Selain itu dalam pandangan Dirganusa, Perasaan (feeling) mempunyai dua arti. Di tinjau secara fisiologis, perasaan adalah pengindraan, sehingga merupakan salah satu fungsi tubuh untuk mengadakan kontak dengan dunia luar. Dalam psikologis, perasaan mempunyai fungsi menilai, yaitu penilaian terhadap sesuatu hal. Makna penilaian ini tampak misalnya “ Saya rasa nanti sore hari akan hujan”[3].
Perasaan selalu bersifat subjektif karena ada unsur penilaian tadi biasanya menimbulkan suatu kehendak dalam kesadaran seseorang individu. Kehendak itu bisa positif artinya individu tersebut ingin mendapatkan hal yang dirasakannya suatu yang memberikan kenikmatan kepadanya, atau juga bisa negatif artinya ia hendak menghindari hal yang dirasakannya sebagai hal yang akan membawa perasaan tidak nikmat kepadanya.

2.      Macam-macam perasaan
Dalam mempelajari perasaan, hal ini tampak pada pembagian perasaan  yang dilakukan oleh para ahli. Menurut Max Scheler membagi perasaan menjadi empat golongan yaitu[4] :
a.       Perasaan pengindraan, yaitu perasaan yang berhubungan dengan pengindraan misalnya : rasa panas, dingin dan sakit.
b.      Perasaan vital, yaitu perasaan yang berhubungan dengan keadaan tubuh misalnya : rasa lesu, segar.
c.       Perasaan psikis, yaitu perasaan yang menyebabkan perubahan-perubahan psikis misalnya : rasa senang, sedih.
d.      Perasaan pribadi, yaitu perasaan yang dialami secara pribadi misalnya : perasaan terasing.
W. Stren mengadakan pembagian perasaan sebagai berikut[5] :
a.       Perasaan yang bersangkutan dengan masa kini, misalnya perasaan senang yang diperlihatkan masa sekarang  dalam hubungan dengan ransangan-ransangan yang dialami pada waktu sekarang juga.
b.      Perasaan yang bersangkutan dengan masa lampau, misalnya perasaan senang pada waktu sekarang yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa di masa lampau.
c.       Perasaan yang bersangkutan dengan masa yang akan datang, misalnya perasaan senang sehubungan dengan peristiwa-peristiwa yang akan datang.
Perasaaan dapat digolongkan dua menurut keadaan perasaan seseorang yaitu[6] :
a.       Golongan Eukoloi, ialah golongan orang yang selalu merasa senang, gembira dan optimis.
b.      Golongan Diskoloi, ialah golongan orang yang selalu merasa tidak senang, murung dan pesimis.
Sedangkan menurut Drs. Agus Sujanto membagi rumpun perasaan sebagai berikut[7] :
a.         Perasaan rendah (biologis) terdiri atas :
1.      Perasaan keinderaan (sensoris), ialah perasaan yang timbul waktu indera kita menerima ransangan.
2.      Perasaan vital (kehidupan), ialah perasaan yang bergantung kepada keadaan tubuh kia sesewaktu, misalnya merasa senang sekali karena sehat.
3.      Perasaan tanggapan, ialah perasaan yang mengiringi apabila kita menanggap sesuatu atau keadaan, misalnya seorang prajurit masih merasa senang sekali kalau ia ingat betapa sang saka berkibar dengan megahnya.
4.      Perasaan instink, ialah perasaan yang mengiringi sesuatu instink yang sedang timbul, misalnya kita akan merasa senang, kalau pada saat makan, di meja makan selalu tersedia hidangan yang berganti-gantian.
b.        Perasaan luhur (rohani) terdiri atas :
1.         Perasaan keindahan, ada dua macam : perasaan keindahan negatif, ialah perasaan yang timbul kalau kita mengindera sesuatu yang buruk. Perasaan keindahan yang positif, ialah perasaan keindahan yang timbul kalau kita mengindera sesuatu yang baik.
2.         Perasaan intelek, ialah perasaan yang timbul sebagai akibat dari hasil intelek, misalnya kalau kita dapat memecahkan sesuatu yang sulit, timbul rasa senang dan sebaliknya.
3.         Perasaan kesusilaan, ialah perasaan yang timbul karena indera kita menerima peransang susila atau jahat.
4.         Perasaan ketuhanan, ialah perasaan yang timbul dalam mengetahui adanya tuhan. Misalnya orang akan merasa bahagia kalau ia merasa bahwa tuhan selalu melindungi dan dekat padanya.
5.         Perasaan diri, ini ada dua macam : positif dan negatif. Perasaan diri positif adalah perasaan yang timbul bila ia dapat berbuat sama atau lebih dari orang lain. Perasaan diri negatif adalah perasaan yang timbul kalau tidak dapat berbuat seperti atau mendekati orang lain.
6.         Perasaan simpati, ialah perasaan yang timbul karena orang lain mengalami rasa senang atau tidak senang.
7.         Perasaan sosial, ialah perasaan yang timbul karena melihat keadaan masyarakat. 
3.      Emosional Intelegensi
Kata “emosi” diturunkan dari kata bahasa Perancis, emotion. Emosi adalah suatu perasaan ingin melebihi dari sifat individu terhadap suatu objek sehingga cendrung berupaya untuk mengekpresikan dan mengaplikasikannya. Sedangkan menurut William James, emosi adalah kecendrungan untuk memiliki perasaan yang khas bila berhadapan dengan objek tertentu dalam lingkungannya[8]. Selain itu Crow & Crow mengemungkakan tentang emosi yaitu suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjusment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu[9].
Macam-Macam Emosi
a.         Takut: Emosi ini cenderung atau sering disebabkan oleh situasi sosial tertentu, biasanya kondisi ketakutan pada suatu obyek yang nyata. Misalnya, takut berada di tempat yang gelap atau sepi.
b.        Khawatir: Khawatir ini merupakan bentuk ketakutan, tetapi lebih bersifat imajiner atau khayalan. Dalam pikiran dan keyakinan kita diyakini konkret keberadaannya. Kekhawatiran muncul kalau intensitas ketakutan meningkat. Misalnya, khawatir kalau kita tidak berhasil melakukan sesuatu atau tidak lulus ujian.
c.         Marah: Marah bersifat sosial dan biasanya terjadi jika mendapat perlakukan tidak adil atau tidak menyenangkan dalam interaksi sosial. Marah membuat kita menjadi tertekan. Saat kita marah denyut jantung kita bertambah cepat dan tekanan darah naik. Napas pun tersengal dan pendek, otot menegang.
d.        Sebal: Sebal terjadi kalau kita merasa terganggu, tetapi tidak sampai menimbulkan kemarahan dan cenderung tidak menimbulkan tekanan bagi kita. Sebal akan muncul berkaitan dengan hubungan antarpribadi, misalnya kita sebal melihat tingkah teman atau si pacar yang enggak perhatian.
e.         Frustrasi: Frustrasi merupakan keadaan saat individu mengalami hambatan-hambatan dalam pemenuhan kebutuhannnya, terutama bila hambatan tersebut muncul dari dirinya sendiri. Konsekuensi frustrasi dapat menimbulkan perasaan rendah diri. Kita dianggap mampu memberikan respons positif terhadap rasa frustrasi kalau mampu memahami sumber-sumber frustrasi dengan logis. Namun, reaksi yang negatif juga dapat muncul dalam bentuk agresi fisik dan verbal, pengalihan kemarahan pada obyek lain serta penghindaran terhadap sumber persoalan atau realitas hidupnya.
f.          Cemburu: Cemburu adalah suatu keadaan ketakutan yang diliputi kemarahan. Perasaan ini muncul didasarkan perasaan tidak aman dan takut status atau posisi kita yang sangat berarti bagi diri kita akan digantikan oleh orang lain. Yang paling sering kita alami adalah cemburu kalau melihat cowok atau cewek kita dekat sama orang lain atau sahabat kita mulai dekat dengan teman lain.
g.         Iri Hati: Emosi ini ditunjukkan pada orang tertentu atau benda yang dimiliki orang lain. Hal ini bisa menjadi hal yang berat bagi kita karena berkaitan dengan materi yang juga menunjukkan status sosial. Misalnya, kita iri karena melihat si A lebih cantik, kaya, populer daripada kita.
h.        Dukacita: Dukacita merupakan perasaan galau atau depresi yang tidak terlalu berat, tetapi mengganggu individu. Keadaan ini terjadi bila kehilangan sesuatu atau seseorang yang sangat berarti buat kita. Kalau dialami dalam waktu yang panjang dan berlebihan akan menyebabkan kerusakan fisik dan psikis yang cukup serius hingga depresi.
i.           Afeksi atau Sayang: Afeksi adalah keadaan emosi yang menyenangkan dan obyeknya lebih luas, memiliki intensitas yang tidak terlalau kuat (tidak sekuat cinta), dan berkaitan dengan rasa ingin dimiliki dan dicintai.
j.          Bahagia: Perasaan ini dihayati secara berbeda-beda oleh setiap individu. Bahagia muncul karena remaja mampu menyesuaikan diri dengan baik pada suatu situasi, sukses dan memperoleh keberhasilan yang lebih baik dari orang lain atau berasal dari terlepasnya energi emosional dari situasi yang menimbulkan kegelisahan dirinya.
Intelegensi adalah kemampuan seseorang berfikir untuk memahami sesuatu dengan akal pikiran. L. M. Terman, intelegensi adalah kemampuan berpikir dalam arti memikirkan hal-hal yang abstrak[10]. Edward Thorndike, intelegensi adalah Kemampuan individu untuk memberikan respon yang tepat (baik) terhadap stimulasi yang diterimanya[11]. Menurut arah atau hasilnya intelegensi ada dua macam :
a.         Intelegensi praktis ialah intelegensi untuk dapat mengatasi suatu situasi yang sulit dalam suatu kerja, yang berlansung secara cepat dan tepat.
b.         Intelegensi teoritis ialah intelegensi untuk dapat mendapatkan suatu pikiran penyelesaian soal atau masalah dengan cepat dan tepat.
Emosional Intelegensi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan pikiran  dengan perasaan sehingga hubungan antar individu bisa terkendali. Emosional intelegensi menunjuk kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain.
Emosional Intelegensi memiliki lima unsur yaitu kesadaran diri (self-awareness), penagturan diri (self-regulation), motivasi (motivation), empati (empathy), dan keterampilan sosial (social skill)[12].
1.      Kesadaran diri (self-awareness) : mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan mengunakannya untuk memadu mengambil keputusan  diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri meliputi kemampuan :
a.         Kesadaran emosi : mengenali emosi diri sendiri dan efeknya.
b.        Penilaian diri secara teliti : mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri.
c.         Percaya diri : keyakinan tentang harga diri dan kemampuan diri.
2.      Pengaturan diri (self-regulation) : menangani emosi kita sedemikian rupa sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapai suatu sasaran, mampu segera pulih kembali dari tekanan emosi. Pengaturan diri meliputi kemampuan :
a.         Mengendalikan diri (self control) : mengelola emosi dan desakan hati yang merusak.
b.        Sifat dapat dipercaya (trustworhtiness) : memelihara norma kejujuran dan integritas.
c.         Kehati-hatian (counciousness) : bertanggung jawab atas kinerja pribadi.
d.        Adaptabilitas (adaptability) : keluwesan dalam menghadapi perubahan.
e.         Inovasi (innovation) : mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru.
3.      Motivasi (motivation) : mengunakan hasrat yang paling dalam untuk mengerakkan dan menuntun menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, serta untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Kecendrungan  emosi yang mengantar atau memudahkan pencapaian sasaran meliputi :
a.         Dorongan prestasi (achievement drive) : dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan.
b.        Komitmen (commitment) : kemampuan menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga.
c.         Inisiatif (initiative) : kesiapan untuk memamfaatkan kesempatan.
d.        Optimisme (Optimism) : kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan.
4.      Empati (empathy) : merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang lain. Kemampuan ini meliputi :
a.         Memahami orang lain (understanding others) : mengindera perasaan dan perspektif orang dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
b.        Mengembangkan orang lain (developing others) : merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.
c.         Orientasi pelayanan (service orientation) : kemampuan mengantisipasi, mengenali dan berusaha memenuhi kebutuhan orang lain.
d.        Memamfaatkan keragaman (leveraging diversity) : kemampuan menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan orang lain.
e.         Kesadaran politis (political awareness) : mampu membaca arus emosi sebuah kelompok dan hubungan dengan kekuasaan.
5.      Keterampilan sosial (social skill) : menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial. Dalam berinteraksi dengan orang lain keterampilan ini dapat dipergunakan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan masalah dan bekerja sama dalam tim. Kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain meliputi :
a.         Pengaruh (influence) : melakukan taktik u tuk melakukan persuasi.
b.        Komunikasi (communication) : mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan.
c.         Manajemen konflik (conflict management) : kemampuan melakukan negosiasi dan pemecahan silang pendapat.
d.        Kepemimpinan (leardership) : membangkitkan inspirasi dan memadu kelompok dan orang lain.
e.         Katasilator perubahan (change catalyst) : kemampuan memulai dan mengelola perubahan.
f.         Membangun hubungan (building bonds) : kemampuan menumbuhkan hubungan yang bermamfaat.
g.        Kolaborasi dan kooperasi (collaboration and cooperation) : kemampuan bekerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama.
h.        Kemampuan tim (team capability) : menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama.
BAB III KESIMPULAN
Perasaan adalah suatu pernyataan jiwa, yang sedikit banyak bersifat subjektif, untuk merasakan senang atau tidak senang dan yang tidak bergantung kepada perangsang dan alat-alat indra. Macam-macam perasaan Menurut Max Scheler membagi perasaan menjadi empat golongan yaitu Perasaan pengindraan, Perasaan vital, Perasaan psikis, Perasaan pribadi, dan menurut W. Stren mengadakan pembagian perasaan sebagai berikut : Perasaan yang bersangkutan dengan masa kini, Perasaan yang bersangkutan dengan masa lampau, Perasaan yang bersangkutan dengan masa yang akan datang, Sedangkan menurut Drs. Agus Sujanto membagi rumpun perasaan sebagai berikut : Perasaan rendah (biologis), Perasaan luhur (rohani).
Emosional Intelegensi adalah kemampuan untuk menyeimbangkan pikiran  dengan perasaan sehingga hubungan antar individu bisa terkendali. Emosional intelegensi menunjuk kepada suatu kemampuan untuk memahami perasaan diri masing-masing dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan menata dengan baik emosi-emosi yang muncul dalam dirinya dan dalam berhubungan dengan orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Mustaqim, 2001, Psikologi Pendidikan. Pustaka Pelajar. Semarang.
Sobur. A, 2003. Psikologi Umum. Pustaka Setia. Bandung.
Sujanto. A, 1979. Psikologi Umum. Bumi Aksara. Jakarta.


[1] Drs. Agus Sujanto, Psikologi Umum, hal : 75

[2] Drs. Alex Sobur, M. Si, Psikologi Umum, hal : 426

[3] Ibid, hal : 427

[4] Ibid, hal : 427

[5] Ibid, hal : 427

[6] Drs. Agus Sujanto, Op cit, hal : 75

[7] Ibid, hal : 76

[8] Drs. Alex Sobur, M. Si, Op cit hal : 399

[9] Ibid, hal : 400

[10] Drs. H. Mustaqim, Psikologi Pendidikan, hal : 103

[11] Drs. Alex Sobur, M. Si, Lok cit hal : 157

[12] Drs. H. Mustaqim, Op cit, hal : 154

MAKALAH PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT BANGSA INDONESIA

PANCASILA SEBAGAI FILSAFAT BANGSA INDONESIA

PENGERTIAN FILSAFAT
            
  Secara etimologis istilah ”filsafat“ atau dalam bahasa Inggrisnya “philosophi” adalah berasal dari bahsa Yunani “philosophia” yang secara lazim diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” kata philosophia tersebut berakar pada kata “philos” (pilia, cinta) dan “sophia” (kearifan). Berdasarkan pengertian bahasa tersebut filsafat berarti cinta kearifan. Kata kearifan bisa juga berarti “wisdom” atau kebijaksanaan sehingga filsafat bisa juga berarti cinta kebijaksanaan. Berdasarkan makna kata tersebut maka mempelajari filsafat berarti merupakan upaya manusia untuk mencari kebijaksanaan hidup yang nantinya bisa menjadi konsep kebijakan hidup yang bermanfaat bagi peradaban manusia. Seorang ahli pikir disebut filosof, kata ini mula-mula dipakai oleh Herakleitos.

PENGERTIAN PANCASILA

Pancasila merupakan salah satu filsafat yang merupakan hasil dari pencerminan nilai nilai luhur dan budaya bangsa indonesia yang terkandung 5 isi di dalamnya, yaitu satu, ketuhanan yang maha esa, dua, kemanusiaan yang adil dan beradab, tiga, persatuan indonesia, keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebikjasanaan dan permusayawaratan, perwakilan, kelima, keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.

Pengertian pancasila sebagai filsafat Indonesia

               Pancasila adalah dasar Filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam UUD 1945, diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun II No. 7 bersama dengan UUD 1945. Pancasila dari bahasa Sanskerta yaitu “panca”(lima) dan “syila” (dasar). Pertama kali digunakan sebagai nama 5 Dasar Negara pada 1 juni 1945 oleh ir Soekarno.

               Bangsa Indonesia sudah ada sejak zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit dalam satu kesatuan. Namun, dengan datangnya bangsa-bangsa barat  persatuan dan kesatuan itu dipecah oleh mereka dalam rangka menguasai daerah Indonesia yang kaya raya ini. pada awalnya perjuangan dilakukan secara perang, karena dengan cara tersebut gagal maka bangsa Indonesia menggunakan cara politik. Di awali dengan suatu badan yang diberi nama BPUPKI. Badan ini diresmikan tanggal 28 Mei 1945 oleh pemerintah Jepang.
Tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengutarakan prinsip dasar Negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno berpidato membahas dasar negara. aDan  pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan undang-undang dasar yang diberi nama Undang-Undang Dasar 1945. Sekaligus dalam pembukaan Undang-Undang Dasar sila-sila Pancasila ditetapkan. Jadi, Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia ditetapkan bersamaan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945, dan menjadi ideologi bangsa Indonesia. Arti Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah sama dan mutlak bagi seluruh tumpah darah Indonesia.

FUNGSI FILSAFAT PANCASILA

               Filsafat Pancasila mampu memberikan dan mencari kebenaran yang substansi tentang hakikat negara, ide negara, dan tujuan negara. Dasar Negara kita ada lima dasar dimana setap silanya berkaitan dengan sila yang lain dan merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak terbagi dan tidak terpisahkan. Saling memberikan arah dan sebagai dasar kepada sila yang lainnya. Tujuan negara akan selalu kita temukan dalam setiap konstitusi negara bersangkutan. Karenanya tidak selalu sama dan bahkan ada kecenderungan perbedaan yang jauh sekali antara tujuan disatu negara dengan negara lain. Bagi Indonesia secara fundamental tujuan itu ialah Pancasila dan sekaligus menjadi dasar berdirinya negara ini.

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

               Pancasila merupakan suatu sistem filsafat. Dalam sistem itu masing-masing silanya saling kait mengkait merupakan satu kesatuan yang menyeluruh. Di dalam Pancasila tercakup filsafat hidup dan cita-cita luhur bangsa Indonesia tentang hubunagan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungannya. Menurut Driyakarya, Pancasila memperoleh dasarnya pada eksistensi manusia sebagai manusia, lepas dari keadaan hidupnya yang tertentu. Pancasila merupakan filsafat tentang kodrat manusia. Dalam pancasila tersimpul hal-hal yang asasi tentang manusia. Oleh karena itu pokok-pokok Pancasila bersifat universal.

PANDANGAN INTEGRALISTIK DALAM FILSAFAT PANCASILA

               Pancasila yang bulat dan utuh yang bersifat majemuk tunggal itu menjadi dasar hidup bersama bangsa Indonesia yang bersifat majemuk tunggal pula. Dalam kenyataannya, bangsa Indonesia itu terdiri dari berbagai suku bangsa, adat istiadat, kebudayaan dan  agama  yang berbeda. Dan diantara perbedaan yang ada sebenarnya juga terdapat kesamaan. Secara hakiki, bangsa Indonesia yang memiliki perbedaan-perbedaan itu juga memiliki kesamaan,.bangsa Indonesia berasal dari keturunan nenek moyang yang sama, jadi dapat dikatakan memiliki kesatuan  darah. Dapat diungkapkan pula bahwa bangsa Indonesia yang memilikiperbedaan itu juga mempunyai kesamaan sejarah dan nasib kehidupan. Secara bersama bangsa Indonesia pernah dijajah, berjuang melawan penjajahan, merdeka dari penjajahan. Dan yang lebih penting lagi adalah bahwa setelah merdek, bangsa Indonesia mempunyai kesamaan tekat yaitu mengurus kepentingannya sendiri dalam bentuk Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kesadaran akan perbedaan dan kesamaan inilah yang menumbuhkan niat, kehendak (karsa dan Wollen) untuk selalu menuju kepada persatuan dan kesatuan bangsa atau yang lebih dikenal dengan wawasan “ bhineka tunggal ika “.

Makalah media dan teknologi pembelajaran

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah “Media & Teknologi Pendidikan” yaitu tentang  Media Pembelajaran Berbasis ICT dapat  terselesaikan sebagaimana mestinya. Shalawat serta salam tidak lupa kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, atas bimbingan Beliau sehingga kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Ucapan  terimakasih kepada dosen pengampu DR. Manpan Drajat M.Ag mata kuliah media & teknologi yang telah memberikan kami kesempatan untuk membuat makalah ini sebagai pedoman, acuan, dan sumber belajar.
Penyusun menyadari bahwa masih terdapat banyak kesalahan baik dari segi bahasa, tulisan, maupun kalimat yang kurang tepat dalam makalah  ini, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya.



                                                                        Purwakarta 23 Septmber  2013







DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR  ...........................................................................................i                        
DAFTAR ISI...........................................................................................................ii
BAB I  PENDAHULUAN  
1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................2
1.3 Tujuan Penulis........................................................................................2
BAB II  PEMBAHASAN
2.1 ICT & Media Pembelajaran...................................................................3
2.2 Perkembangan ICT dalam  Media Pembelajaran...................................4
2.3 Penggunaan ICT dalam  Pembelajaran PAI...........................................5
BAB III  PENUTUP
3.1 Kesimpulan ...........................................................................................8
3.2 Saran.......................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................iii
           





BAB I
PENDAHULUAN

1.1          Latar Belakang Masalah
Perkembangan Information and Communication Technology (ICT) atau  Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dalam beberapa dekade terakhir berjalan sangat cepat sejalan dengan perkembangan teknologi telekomunikasi, termasuk jaringan komputer. Berbagai teknologi dan aplikasi pendukung juga telah dikembangkan sebagai upaya untuk mendukung dan mempermudah aktivitas kehidupan manusia dan organisasi, termasuk kegiatan belajar mengajar dalam dunia pendidikan. Dalam menyikapi perkembangan dan kemajuan ICT tersebut, para dosen dan guru dituntut untuk menguasai teknologi (ICT) agar dapat mengembangkan materi-materi pembelajaran berbasis ICT dan memanfaatkan ICT sebagai media pembelajaran. Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan dan kesempatan yang lebih luas kepada pebelajar dalam belajar.
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Harus diakui, proses pembelajaran yang didesain oleh guru saat ini masih mengebiri potensi siswa didik, yang menyebabkan proses pembelajaran pun tak jarang berlangsung monoton dan membosankan. Yang lebih memprihatinkan, masih muncul opini di kalangan sebagian besar guru bahwa pembelajaran dikatakan berhasil apabila suasana kelas berlangsung diam alias bisu dan siswa patuh dengan komando. ICT bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan pembelajaran apabila para guru yang berdiri di garda depan dalam dunia pendidikan kita tidak “gaptek.” Minimal, mereka bisa mengoperasikannya sehingga siswa didik bisa “menikmati” media pembelajaran dengan segenap emosi dan pikirannya. Sebuah kesia-siaan apabila sekolah “dimanja” dengan berbagai piranti teknologi mutakhir, tetapi mereka tak sanggup memanfaatkannya secara maksimal. Sebagai “agen perubahan dan peradaban” dunia pendidikan tampaknya memang harus sudah mulai mengakrabi ICT.
Untuk menciptakan atmosfer baru dalam dunia pembelajaran di sekolah, harus ada upaya serius untuk memberdayakan guru agar mereka tidak “gaptek” lagi dalam memanfaatkan ICT untuk kepentingan pembelajaran. Jika tidak ada upaya serius dan intensif, disadari atau tidak, pemanfaatan ICT dalam pembelajaran hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka.[1]

1.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1.      Apa yang di maksud ICT & Media Pembelajaran?
2.      Bagaimana Perkembangan ICT dalam  Media Pembelajaran?
3.      Bagaimana Penggunaan ICT dalam  Pembelajaran PAI?

1.3 Tujuan Penulis
1. Memahami apa itu ICT & media pembelajaran
2. Mengetahui bagaimana perkembangan ICT dalam media pembelajaran
3. Mengetahui bagaimana penggunaan ICT dalam pembelajaran PAI





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ICT & Media Pembelajaran
a. pengertian  ICT (Information and Communication Technology )
Teknologi komputer dapat berfungsi sebagai teknologi informasi maupun sebagai teknologi komunikasi. Seorang guru dalam konteks ini sejatinya menguasai teknologi informasi dan komunikasi. Istilah Information and Communication Technology (ICT) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Istilah TIK dalam hal ini bukan hanya TIK sebagai Mata Pelajaran, melainkan sebagai segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi komputer dalam kegiatan pembelajaran. Dalam konteks ini, TIK sebagai information and communication technology based learning dan multimedia learning.

Secara akademis, pengertian teknologi informasi dapat dibedakan dengan teknologi komunikasi, meskipun pada prakteknya teknologi informasi dan komunikasi ibarat dua sisi mata uang. Teknologi informasi memiliki pengertian luas yang meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, pengunaan komputer sebagai alat bantu, manipulasi dan pengolahan informasi. Sementara teknologi komunikasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat satu ke perangkat yang lainnya. Dalam konteks pembelajaran, ICT meliputi segala hal yang berkaitan dengan pemanfaatan komputer untuk mengolah informasi dan sebagai alat bantu pembelajaran serta sebagai sumber informasi bagi guru dan siswa.[2]

b. pengertian media
pengertian media kata media berasal bahasa latin medius yang secara harfiah berarti’ tengah,’ perantara’atau pengantar. Dalam bahasa Arab, media adalah perantara( wa saa il) atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Gerlach & Ely (1971)





makalah tasawuf

MAKALAH 
Pengertian Tasawuf, Dasar-dasar Qur’ani Dan Perkembangan Tasawuf 
Di ajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf Dosen 
Pembimbing : Drs H. Yusuf M. Ag 


 Disusun oleh : Kelompok  1. Jamaludin 

 SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DR. KHEZ. MUTTAQIEN

 KATA PENGANTAR 
 Teriring puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Selanjutnya dengan iringan rahmat, inayah serta hidayah dari Allah SWT, alhamdulillah kami telah di beri kemampuan untuk menyusun sebuah makalah dengan judul ”PENGERTIAN TASAWUF, DASAR-DASAR QUR’ANI DAN PERKEMBANGAN TASAWUF. Makalah yang saya susun berisikan tentang pengertian tasawuf dan perkembangan tasawuf itu sendiri serta pembahasan mengenai dasar-dasar qur’ani, semoga dengan disusunnya makalah ini menjadi bahan kajian untuk kita semua dalam konteks tasawuf diantara berbagai macam perspektif. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempuran makalah ini. Akhir kata saya sampaikan, semoga dalam penyusunan makalah ini menjadi pembelajaran untuk kita, dalam mengenal tasawuf itu diantara ragam perspektif. Semoga senantiasa usaha kita diridhoi allah SWT. Wanayasa oktober 2012 

 DAFTAR ISI 
 KATA PENGANTAR..............................................................................................................................................i DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii 
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................................1 a. Latar Belakang................................................................................................................1 
b. Identifikasi Masalah........................................................................................................2 
c. Tujuan Penulis.................................................................................................................2 
BAB II PEMBAHASAN MASALAH...................................................................................................3 1.1 Pengertian Tasawuf Dan Dasar-dasar Qur’ani.............................................................5 
1.2 Dasar-dasar Qur’ani Tasawuf.......................................................................................5 
1.3 Sejarah Paham Tasawuf....................................................................................7 
BAB III ANALISIS KRITIS.................................................................................................................11 
BAB IV PENUTUP................................................................................................................................12 a. Kesimpulan..................................................................................................................12 b. Saran............................................................................................................................12 
c. Daftar Pustaka..............................................................................................................13 


BAB I PENDAHULUAN 

a. Latar Belakang 
 Tasawuf adalah kehidupan rohani dan lebih tegas lagi bahwa bertasawuf itu adalah fitrah manusia. Melihat pengertian tasawuf dimulai dari pembersihan diri yang bertujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi oleh karena Allah SWT itu adalah Nur dan Maha Suci, maka hamba yang ingin berhubungan dengan Allah harus berusaha melepaskan rohnya dari kungkungan jasadnya. Untuk dapat melepaskan roh itu ditempuh jalan riadah (latihan) yang memakan waktu cukup lama. Riadah ini juga bertujuan untuk mengasah roh itu supaya tetap suci. Naluri manusia tetap ingin mencapai yang baik dan sempurna dalam mengarungi kehidupannya. Untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan itu tidak dilalui dengan mempergunakan ilmu pengetahuan saja. Karena ilmu adalah produk manusia dan hanya merupakan alat yang pendek. Manusia akan merasa kehilangan dan kekosongan kalau hanya mengandalkan ilmu materi saja. Jalan menuju hidayah dan kebahagiaan itu tidak lain hanya dengan iman yang kokoh, perasaan hidup yang aman tenteram yang berdiri di atas rasa cinta. Sesungguhnya tujuan akhir manusia adalah mengikat lingkaran rohaninya dengan Allah SWT sebagai hubungan yang selamanya benar. Apabila orang hanya merasa bahwa akalnyalah satu-satunya yang menjadi imam dan pemberi petunjuk, dia jauh dari pembicaraan kegiatan kehidupan rohani, merasa bangga karena sudah merasa memiliki kemewahan dunia, maka orang tersebut kata Huxley setingkat dengan binatang. Justru karena itu dibutuhkan suatu kehidupan rohani yang mendekatkan seseorang kepada Allah dan ini hanya bisa diatur dalam kehidupan tasawuf. A. Identifikasi Masalah Agar batasan ini lebih terfokus dan dapat lebih di mengerti, maka perlu di buat identifikasi masalahnya. Adapun identifikasi masalah tersebut antara lain: 1. Apa Pengertian Tasawuf ? 2. Seperti Apa Dasar-dasar Qur’ani Tasawuf ? 3. Seperti Apa Sejarah Paham Tasawuf ? 4. TujuanPenulis 1. Mengetahui Pengertian Tasawuf 2. Mengetahui Dasar-dasar Qur’ani Tasawuf 3. Mengetahui Sejarah Paham Tasawuf.

 BAB II PEMBAHASAN MASALAH 

 A. PENGERTIAN TASAWUF DAN DASAR-DASAR QUR-ANI 

 1. Pengertian Tasawuf Menurut Bahasa Untuk mengajukan pengertian tasawuf menurut bahasa, tergantung dari segi mana kita memandang tasawuf itu dan tergantung sejauh mana kita tahu, mengerti dan memahami tasawuf itu, maka itulah pengertian tasawuf menurut versi kita, namun dalam hal ini saya mengambil pengertian tasawuf dari sumber bahasa tasawuf itu sendiri. Tasawuf berasal dari bahasa Arab. Dalam hal ini para 'ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tasawuf dari segi bahasa Arab yang mereka miliki, tergantung dari segi mana para 'ulama memandang tasawuf itu dan tergantung sejauh mana para 'ulama tahu, mengerti dan memahami tasawuf dan jika mereka memberikan pengertian diiringi dengan kebencian terhadap tasawuf maka biasanya pengertian yang mereka berikan terhadap tasawufpun berkesalahan, karena dipengaruhi oleh unsur kebencian dalam hatinya terhadap tasawuf, hal ini bisa saja terjadi karena kekurang tahuannya terhadap tasawuf. Untuk itu mari kita simak pendapat para 'ulama tentang pengertian tasawuf menurut bahasa. Insya Allah saya telah berhasil mengumpulkan pengertian tasawuf dari berbagai sumber, dalam hal ini saya dapatkan ada 8 (delapan) pendapat pengertian tasawuf menurut bahasa, yaitu: 1. Tasawuf berasal dari istilah yang diserupakan dengan "ahlus Suffah" yaitu salah satu kelompok jama'ah di zaman Rasulullah SAW yang hidupnya gemar berdiam diri berlama-lama beribadah di Masjid dan di sekitar Masjid. 2. Tasawuf berasal dari kata "shafa", merupakan fi'il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan huruf ya nisbah yang ditujukan sebagai julukan untuk orang-orang yang bersih atau suci (orang-orang yang rajin mensucikan dirinya kepada Allah). 3. Tasawuf berasal dari kata "shaf", ditamsilkan kepada orang-orang yang berada di shaf depan dalam sholat, maksudnya agar para sufi menjadi contoh dan suri tauladan yang terbaik dalam mengikuti peri kehidupan Rasulullah SAW. 4. Tasawuf di tamsilkan kepada orang-orang dari Bani Shuffah yang gemar mendirikan tenda-tenda di tengah padang pasir tatkala kemalaman dalam musafir. 5. Tasawuf berasal dari kata "sufi" yang artinya adalah orang suci atau orang yang rajin mensucikan dirinya kepada Allah SWT menurut tuntunan Al-Qur'an dan Al-Hadits. Pendapat ini yang paling populer di kalangan sufi. 6. Tasawuf berasal dari kata "shaufanah" yaitu sebangsa buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di padang pasir Arab. Hal ini disebabkan karena mereka mendapati pakaian jubah para sufi di masa itu banyak bulunya, sehingga ditamsilkan dengan shaufanah. 7. Tasawuf berasal dari kata "shuf" yang artinya bulu domba atau wol. Hal ini dikarenakan para sufi di masa awal rajin memakai jubah yang terbuat dari benang wol berbulu domba sebagai tanda kerendahan hati dan kewarokan para sufi dalam berkehidupan di bumi Allah ini dan menghindari bermegah-megahan. 8. Tasawuf berasal dari kata "wazan tafa'ul", yaitu "tafa'ala-yatafa'alu-tafa' 'ulan" dengan imbangannya "tashawwafa-yatashawwafu-tashawwufan". Dalam hal ini tasawuf dapat berkonotasi makna dengan "tashawwafa arrajulu" artinya seorang laki-laki telah mentasawuf, maksudnya laki-laki itu telah hijrah dari kehidupan biasa menjadi kehidupan sufi, karena biasanya orang yang telah memasuki dunia tasawuf mereka mempunyai simbol-simbol seperti cara berpakaian yang terbuat dari benang wol, bahkan ada yang berpakaian jubah terbuat dari goni bolang (goni beras) sebagai bukti kesederhanaannya. Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai Sufisme (bahasa arab: تصوف ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh kebahagian yang abadi. Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata “Sufi”. Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف), bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata dari Sufi adalah Safa (صفا), yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan. Yang lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari “Ashab al-Suffa” (“Sahabat Beranda”) atau “Ahl al-Suffa” (“Orang orang beranda”), yang mana adalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad yang menghabiskan waktu mereka di berada masjid Nabi, mendedikasikan waktunya untuk berdoa B. Dasar-Dasar Qur`ani Tasawuf Para pengkaji tentang tasawuf sepakat bahwasanya tasawuf berazaskan kezuhudan sebagaimana yang diperaktekkan oleh Nabi Saw, dan sebagian besar dari kalangan sahabat dan tabi’in. Kezuhudan ini merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjuhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain. Meskipun terjadi perbedaan makna dari kata sufi akan tetapi jalan yang ditempuh kaum sufi berlandasakan Islam. Diantara ayat-ayat Allah yang dijadikan landasan akan urgensi kezuhudan dalam kehidupan dunia adalah firman Allah dalam al-Qur’an yang Artinya : “Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia kamiberikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat”. (Q.S Asy-Syuura [42] : 20). Diantara nash-nash al-Qur’an yang mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat adalah firman Allah dalam Q.S al-Hadid [57] ayat: 20 yang Artinya : “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning Kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia Ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Ayat ini menandaskan bahwa kebanyakan manusia melaksanakan amalan-amalan yang menjauhkannya dari amalan-amalan yang bermanfaat untuk diri dan keluarganya, sehingga mereka dapat kita temukan menjajakan diri dalam kubangan hitamnya kesenangan dan gelapnya hawa nafus mulai dari kesenangan dalam berpakaian yang indah, tempat tinggal yang megah dan segala hal yang dapat menyenangkan hawa nafsu, berbangga-bangga dengan nasab dan banyaknya harta serta keturunan (anak dan cucu). Akan tetapi semua hal tesebut bersifat sementara dan dapat menjadi penyebab utama terseretnya seseorang kedalam azab yang sangat pedih pada hari ditegakkannya keadilan di sisi Allah, karena semua hal tersebut hanyalah kesenangan yang melalaikan, sementara rahmat Allah hanya terarah kepada mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang melallaikan tersebut. Ayat al-Qur’an lainnya yang dijadikan sebagai landasan kesufian adalah ayat-ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan segala urusan, ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hal tersebut cukup variatif tetapi penulis mmencukupkan pada satu diantara ayat –ayat tersebut yaitu firman Allah dalam Q.S ath-Thalaq [65] ayat : 3 yang Artinya : “Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan hanya berharap kepada-Nya diantaranya adalah firman Allah dalam Q.S as-Sajadah [ ] ayat : 16 yang Artinya: “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harapMaksud dari perkataan Allah Swt : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya” adalah bahwa mereka tidak tidur di waktu biasanya orang tidur untuk mengerjakan shalat malam”. B. Sejarah paham Banyak pendapat pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasawuf sangat lah membingungkan Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakam paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah[. Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara orang penganut paham tersebut disebut orang sufi. Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad. Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik. Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah. Beberapa definisi sufisme: • Yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne). • Yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van Haeringen). Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam: • Asal-usul ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995). • Seorang penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani, al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374), I, 4.] Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam: • Sufisme berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne). • (Sufisme)yaitu ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz). • Al Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah (yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri pribadi dengan Tuhan. • Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik) ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India perlahan-lahan mempengaruhi aliran-aliran di daam Islam (Prof.Dr.H.Abubakar Aceh). • Paham tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien Jaiz, 1980) • Tasawuf dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc) 

 BAB III ANALISIS KRITIS 

 Tasawuf yaitu upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada allah SWT, dan itu adalah definisi secara garis besar. Menurut perspektif saya, tasawuf bukan hanya di interpretasikan dalam konteks itu saja, seperti memakai pakaian sobek (tambalan), karena ingin terlihat rendah diri dan jauh dari kemewahan dunia atau terus-menerus berdzikir tanpa ada waktu untuk hal sosial yang menjadi kewajiban dirinya. sampai-sampai seseorang yang sudah berkeluarga, dia melupakan kewajiban untuk menafkahi keluarga tersebut, dan saya kira ini bukan menjadi sebuah konteks tasawuf, melainkan kegiatan yang akan menjadi penghalang ketaatan kita kepada allah SWT, karena kita telah melupakan kewajiban kita sebagai manusia yang hanya memprioritaskan berdzikir tanpa ada waktu untuk yang lainnya. Kita lihat sekilas biografi Nabi Muhammad SAW, kalau kita ketahui Nabi kita adalah seorang sufisme, sering bertahanus, mendekatkan diri kepada allah SWT, berdzikir setiap saat, tapi rasul tidak pernah melupakan kewajiban dirinya sebagai makhluk sosial yang selalu dibutuhkan oleh umatnya pada saat itu. Kita ketahui kehidupan rasul sangat sederhana sekali, contoh seperti berpakaian sederhana, apabila pakaiannya sobek rasul menambalnya sendiri, begitu pun dari makan rasul, sangatlah sederhana tidak berlebihan. Untuk itu kita sebagai umatnya, sudah sepantasnya mencontoh sifat-sifat yang telah ada pada diri rasul yang telah mencakup unsur-unsur tasawuf, sebab dalam tasawuf itu buahnya akhlak, sehingga kita benar-benar bisa berprilaku baik dan rendah hati. Oleh karena itu kita harus memaknai tasawuf lebih dalam lagi, jangan memandang tasawuf dalam satu persepektif saja. Jika saya membuat sebuah persepsi, saya lebih setuju tasawuf dimasuk dalam kontek gerakan moral.

 BAB IV PENUTUP 
A. Kesimpulan 
Telah jelas dalam pembahasan diatas bahwa tasawuf adalah upaya mensucikan diri dan jiwa, jauh dari kesenangan dan kemewahan, semua hanya tertuju untuk mendekatkan diri kepada allah SWT, dan tasawuf mengundang banyak penafsiran, tergantung perspektif seseorang dalam menginterpretasikannya. Dan telah dijelaskan tasawuf merupakan implementasi dari nash-nash al-Qur’an dan Hadis-hadis Nabi Saw yang berorientasi akhirat dan berusaha untuk menjauhkan diri dari kesenangan duniawi yang berlebihan yang bertujuan untuk mensucikan diri, bertawakal kepada Allah Swt, takut terhadap ancaman-Nya, mengharap rahmat dan ampunan dari-Nya dan lain-lain. Selain hal itu perkembangan taswuf sendiri dilatar belakangi oleh faktor politik, pada jaman dahulu Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah. 
 B. Saran 
 Sebaiknya tasawuf dijadikan salah satu konteks gerakan moral, bukan sebagai implementasi kezuhudan dan melupakan kewajiban sosial, karena banyak realita kehidupan seseorang dalam tasawuf, tapi akhlaknya jelek, tidak mengaplikasikan unsur-unsur yang ada dalam tasawuf itu sendiri. 

 DAFTAR PUSTAKA •

sumber: http://koran.republika.co.id/koran/153/137848/MAULANA_SYEKH_MUHAMMAD_HISYAM_KABBANI_Tasawuf_Adalah_Zikir • Posted by siputra at 6:25 AM Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook